eta story
eta story

PRAKONDISI TERJADINYA PRAKTIK MONEY POLITICS
Tiada asap tanpa api. Begitu pula dengan money politics. Fenomena jual-beli pengaruh pada moment politics yang penting, bukan sesuatu yang tercipta dari ruang kosong. Ada prakondisi tertentu yang memungkinkan suburnya praktik money politics. Praktik money politics pada level nasional merupakan reproduksi atau agregasi kejadian pada scope yang lebih kecil dan terbatas. Kita bisa melihat money politics pada proses demokrasi pada tingkat yang paling rendah, misalnya pemilihan kepada desa (pilkades). Para calon kepala desa acapkali mendadak jadi “sinterklas” menjelang hari pemungutan suara. Mereka membagi uang atau barang agar pilihan rakyat akan jatuh kepadanya. Tidak jarang seorang calon kepala desa harus mengeluarkan uang ratusan juta rupiah untuk meraih kemenangan dalam pilkades. Para botoh (petaruh) ikut meramaikan atau justru memperkeruh situasi dengan pertaruhan yang berbau perjudian. Kemungkinan besar, para botoh itu juga melakukan praktik money politics.
Pada proses demokrasi level akar rumput (grassroot) ini praktik money politics tumbuh subur. Karena dianggap suatu kewajaran, masyarakat tidak lagi peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya, karena tidak merasa bahwa money politics secara normative harus dijauhi. Segalanya berjalan dengan wajar. Kendati jelas terjadi praktek money politics, dan hal itu diakui oleh kalangan masyarakat, namun tidak ada protes.
Disini kita bisa melihat betapa money politics telah mendarah daging dimasyarakat kita pada tingkat akar rumput sampai tingkat elit. Perbedaannya, pada tingkat akar rumput, praktik tersebut lebih transparan dan tidak menjadi persoalan yang sensitive. Sedangkan pada tingkat yang lebih tinggi, praktik money politics lebih tertutup dan menjadi hal yang sangat sensitive.
Kecuali masyarakat yang telah terbiasa dengan praktek money politics sehingga daya kritis mereka cenderung berkurang, masih ada beberapa prakondisi yang memungkinkan terjadinya money politics.
Pertama, politik masa mengambang (floating mass) yang mengeliminasi tumbuhnya loyalitas individual terhadap partai-partai politik. Skeptisisme politik massa pada penguasa orba, memungkinkan munculnya aksi para petualang politik untuk membeli suara mereka yang baru saja memasuki lanskap politik era reformasi.
Masyarakat (pemegang hak pilih) yang sudah siap dengan proses reformasi, akan dapat menyikapi kecenderungan money politics dengan baik. Mereka menyadari bahwa reformasi adalah terbukanya koridor demokrasi menuju kedaulatan rakyat yang semakin hakiki. Dengan demikian, tidaklah selayaknya apabila kedaulatan rakyat tersebut dijual kembali untuk memperoleh imbalan uang.
Prakondisi kedua adalah structure sosiokultural yang terpelihara sejak era colonial, yakni budaya korupsi. Kebiasaan birokrat untuk melakukan tindak korupsi, serta kecenderungan para pengusaha untuk melakukan penyuapan demi memperlancar usahanya, adalah lahan subur bagi benih-benih money politics untuk tumbuh subur.
Ketiga, angka kemiskinan absolute juga menjadi latar belakang penting. Meningkatnya harga kebutuhan pokok menyebabkan puluhan juta orang sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalau ada partai kaya mendekati mereka lalu membagikan uang dan sembako, tentu saja rakyat miskin tersebut akan merasa hutang budi. Bila mereka diminta untuk menyalrkan aspirasi politiknya ke partai “sinterklas” itu, besar kemungkinan akan melaksanakannya dengan senang hati.
Label: 2 komentar | | edit post