BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada hakikatnya ekonomi makro adalah ilmu ekonomi yang mempelajari persoalan ekonomi secara menyeluruh. Banyak alasan yang membuat ekonomi makro menjadi satu subjek yang penting di masa ini. Karena ekonomi makro merupakan titik pusat keberhasilan atau kegagalan suatu negara. Selain itu ekonomi makro menjadi topik utama karena suatu Negara dapat menaggung akibat besar pada prestasi ekonominya termasuk pembelanjaan Negara, perpajakan, serta jumlah uang yang beredar.
Dalam ekonomi makro tidak lepas dari istilah “krisis”. Krisis nilai tukar yang terjadi sebagai akibat penularan dari krisis di Thailand telah melanda Indonesia dalam tahun 1997-1999, tidak saja di bidang ekonomi tetapi berkembang menjadi krisis multidimensi. Hal tersebut terjadi karena krisis moneter di Indonesia secara cepat menjalar menjadi krisis perbankan, krisis ekonomi, dan berlanjut ke krisis sosial-politik dan bidang-bidang lain. Depresiasi Rupiah yang besar telah menyebabkan berbagai kesulitan. Para pengusaha mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri yang jatuh waktu dan untuk mengimpor bahan baku yang diperlukannya. Bank-bank mengalami kesulitan dari rentetan masalah yang dihadapi nasabah dalam membayar hutang-hutang mereka, ditambah lagi dengan adanya sebagian masyarakat melakukan spekulasi di tengah-tengah perkembangan yang semakin memprihatinkan. Krisis tersebut kemudian menyebabkan berkurangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek perekonomian Indonesia, sedangkan pada saat yang bersamaan prospek ekonomi di kawasan lain, khususnya Amerika, sangat menjanjikan.
Tingginya laju inflasi menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat, khususnya golongan berpendapatan rendah. Dalam perkembangannya, kondisi ekonomi diperparah dengan rusaknya sistem distribusi bahan kebutuhan pokok yang berakibat pada timbulnya gejolak sosial-politik.
Krisis juga telah mengakibatkan timbulnya berbagai masalah yang dihadapi Bank Indonesia seperti dilema dalam mengatasi krisis perbankan yang menimbulkan masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Di sisi lain, krisis juga telah mempercepat proses perubahan status Bank Indonesia menjadi bank sentral yang independen.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pemicu terjadinya krisis ?
2. Bagaimana krisis nilai tukar di Indonesia ?
3. Bagaimana krisis perbankan yang pernah terjadi di Indonesia ?
4. Apa sajakah factor yang dapat menentukan tidak/berkembangnya masalah kelumpuhan financial ?
5. Bagaimana fungsi dan peran Bank Sentral pada masa krisis ?
6. Bagaimana Posisi BLBI Dalam Upaya Pemerintah mengatasi Krisis Keuangan ?
7. Bagaimana akibat krisis financial terhadap krisis social dan politik ?
8. Bagaimana kebijakan untuk mengatasi krisis dan apa keterkaitan kebijakan moneter dengan kebijakan makro lain ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui pemicu terjadinya krisis.
2. Dapat mengetahui krisis nilai tukar yang terjadi di Indonesia.
3. Dapat mengetahui krisis perbankan yang terjadi di Indonesia.
4. Dapat mengetahui factor yang dapat mempengaruhi berkembang atau tidaknya kelumpuhan financial di Indonesia.
5. Dapat mengetahui fungsi dan peran Bank Sentral pada masa krisis.
6. Dapat mengetahui posisi BLBI dalam upaya pemerintah mengatasi krisis keuangan.
7. Dapat mengetahui dampak krisis keuangan terhadap krisis social dan politik.
8. Dapat mengetahui kebijakan dalam mengatasi krisis dan dapat mengerti keterkaitan kebijakan moneter dengan kebijakan makro lainnya.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pemicu Terjadinya Krisis
Pemicu terjadinya krisis ekonomi di Indonesia adalah efek dari krisis nilai tukar di Thailand pada awal Juli 1997 yang melanda pasar valuta asing di kawasan Asia dan mempengaruhi pasar valas di Indonesia yang beroperasi dalam perekonomian nasional yang mengidap berbagai kelemahan struktural. Pada awalnya pemerintah begitu yakin bahwa apa yang terjadi di Thailand dan Filipina ketika itu tidak akan mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata uang utama, khususnya dolar Amerika Serikat. Hal ini didasarakan pada data statistic yang menunjukkan kuatnya fundamental perekonomian Indonesia pada saat itu.
Indicator
|
1996
|
1997
|
1998
|
1999
|
Pertumbuhan ekonomi(%)
|
8,0
|
4,6
|
(13,6)
|
5,76
|
Inflasi(%)
|
6,5
|
11,6
|
77,6
|
8,25
|
Jumlah bank
|
239
|
222
|
208
|
173
|
NPL (% kredit)
|
8,8
|
14,0
|
63,3
|
63,8 Juni
|
Utang Luar Negri (% GDP)
|
48,2
|
62,9
|
152,1
|
103,8
|
Arus modal masuk
|
5,4
|
(1,1)
|
(45,8)
|
(26,5)
|
Sebagaimana diungkapkan diatas, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat sangat cepat dan cenderung stabil. Perkembangan nilai tukar rupiah juga terkesan cenderung stabil sementara investasi asing terus meningkat. Kondisi fundamental ekonomi yang terlihat baik tersebut menyebabkan pemerintah kurang memperhitungkan ekses yang dapat ditimbulkan oleh hutang luar negri komersial sector swasta yang sebagian besar tidak dijamin dengan fasilitas lindung nilai. Factor ini yang kemudian memberikan dampak terbesar pada berlanjutnya krisis di Indonesia, selain sikap masyarakat Indonesia yang “gemar” melakukan spekulasi.
Proses penularan berkembang cepat menjadi krisis yang melanda semua aspek kehidupan masyarakat karena pasar keuangan domestik sudah terintegrasi ke dalam pasar keuangan global. Krisis di Indonesia menjadi sangat parah karena baik dari sumber asalnya maupun struktur ekonomi nasional memang menyebabkan terjadinya proses deteriorisasi secara sistematik sehingga menimbulkan dampak yang sangat besar. Gejolak ekstern pada pasar valas merupakan dampak penekanan nilai mata uang di kawasan, setelah terjadi perubahan sentimen pasar dari optimisme yang berlebihan. Sementara itu, ekonomi nasional diwarnai dengan struktur keuangan, terutama perbankan, yang lemah dan sektor riil yang juga lemah sebagaimana tercermin pada ekonomi biaya tinggi. Kedua unsur ini menyebabkan krisis yang terjadi menjadi sangat dahsyat sehingga dampaknya juga sangat luas. Krisis yang pada awalnya hanyalah krisis nilai tukar kemudian berkembang menjadi krisis perbankan, hingga menjalar menjadi krisis sosial dan politik yang berakibat sangat dahsyat bagi kehidupan bangsa Indonesia.
2.2 Krisis Nilai Tukar yang terjadi di Indonesia.
Krisis nilai tukar merupakan penularan dari krisis serupa di Thailand. Mulai Juli 1997, rupiah mengalami depresiasi yang besar. Dalam waktu satu bulan, nilai rupiah di pasar valuta asing terus melemah, sehingga untuk menyelamatkan cadangan devisa negara, Bank Indonesia melepaskan system nilai tukar mengambang terkendali menjadi system mengambang bebas. Sejak diberlakukannya system itu, maka nilai tukar rupiah benar-benar terjun bebas ke level yang terus merosot. Puncaknya terjadi pada bulan Juni 1998, ketika nilai rupiah menjadi Rp. 16.500,- per dolar Amerika Serikat. Hal itu memperlihatkan bahwa dalam waktu satu tahun saja, rupiah dengan mudah terdepresiasi lebih dari 500% terhadap dolar Amerika Serikat.
Terjun bebasnya nilai rupiah disebabkan oleh berbagai peristiwa social-politik yang terjadi di Indonesia, terutama gelombang kerusuhan massa pada Mei 1998 yang telah menurunkan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Baru pada saat Pemerintah mengundang lembaga moneter internasional (IMF) untuk membantu penyelesaian krisis, maka nilai tukar rupiah mengalami penguatan secara bertahap. Sampai saat ini nilai tukar rupiah cenderung stabil di pasar valuta, yaitu berada di kisaran Rp. 9.000,- s/d Rp. 10.000,- per satu dolar Amerika Serikat.
2.3 Krisis Perbankan yang Terjadi di Indonesia
Pada saat awal krisis melanda di bulan Juli 1997, perbankan merupakan jenis usaha yang terkena dampak paling parah. Kondisi krisis menyebabkan perbankan tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Krisis perbankan dimulai dengan timbulnya kesulitan likuiditas yang diakibatkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah yang berakibat pada kesulitan bank dalam memenuhi kewajibannya kepada luar negeri dan kesulitan nasabahnya dalam melunasi hutangnya kepada bank. Kondisi perbankan kemudian menjadi rawan setelah munculnya penarikan simpanan dan pemindahan dana dari bank yang lemah ke bank yang kuat secara besar-besaran akibat semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Apalagi setelah likuidasi 16 bank swasta nasional pada tanggal 1 November 1997 yang dilakukan tanpa persiapan yang memadai untuk menghadapi rush atau bank run. Akibatnya beberapa bank yang sebelumnya tergolong sehat ikut terkena dampak tersebut sehingga posisi mereka menjadi tidak sehat dan mengalami kesulitan likuiditas. Untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah melakukan berbagai langkah penyelamatan antara lain mendirikan BPPN, penyempurnaan kelembagaan, dan pemberian status mandiri kepada Bank Indonesia. Selain itu untuk membantu permodalan dan membiayai operasional maka bank-bank tersebut diberikan Bantuan Likuiditas dari Bank Indonesia. Hal itu mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat yang sejak pertengahan tahun 1999 sudah mulai menyimpan kembali dana mereka di sector perbankan. Setelah itu untuk proses penyehatan perbankan, maka Pemerintah mulai melakukan program restrukturisasi dam rekapitalisasi perbankan agar perbankan mampu beroperasi seperti sebelum krisis. Merosotnya nilai tukar rupiah tersebut membuat system perbankan Indonesia menjadi kacau karena mengalami kerugian yang cukup besar sebagai akibat dari harus membayar utangnya dalam bentuk mata uang asing. Sementara, bank-bank yang tidak melindungi nilai kurs pinjaman valuta asingnya sangat banyak sekali. Bahkan boleh dikatakan mayoritas bank-bank tidak melindungi nilai kurs pinjaman valuta asingnya. Akumulasi kerugian bank akibat gejolak kurs ditambah dengan memburuknya arus kas (cash-flow) akhirnya menyebabkan kesulitan likuiditas.
Dalam kondisi seperti itu, bank Indonesia menganggap bahwa kewenangan yang dimilikinya sesuai dengan ketentuan pasal 32 ayat (3) dan penjelasan umum angka III huruf b UU No 13 Tahun 1968 tentang bank sentral.
Pasal 32 ayat (3) mengatakn bahwa, “Bank dapat pula memberikan likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat.” Dalam penjelasan umum angka III dikatakn bahwa,” sungguhpun bank sentral menjalankan tugasnya berdasarkan garis-garis kebijakan pemerintah di bidang moneter, namun dalam undang-undang ini kepada Bank sentral diberikan beberapa wewenang yang ditunjukkan ke arah pemeliharaan dan jaminan dari pelaksanaan kebijaksanaan moneter itu yang sesuai dengan kebutuhan penjagaan kestabilan nilai satuan uang rupiah dan perkembangan produksi dan pembangunan guna meningkatkan taraf hidup rakyat.”
Bank-bank yang sakit karena kesulitan likuiditas harus diberi bantuan karena :
1. Adanya kekhawatiran pencabutan izin bank akan menimbulkan domino effect yang dapat mengganggu stabilitas system perbankan dan system pambayaran
2. Bank yang sakit karena kesulitan likuiditas berada dalam program penyelamatan bank Indonesia, sehingga apabila tidak mengucurkan dana bantuan akan membahayakan program penyelamatan tersebut.
2.4 Faktor yang Menyebabkan Berkembang atau Tidaknya Kelumpuhan Finansial
Berkembang atau tidaknya kelangkaan/kelumpuhan financial menajdi krisis financial tergantung dari berbagai factor seperti tingkat kelancaran atau kekakuan penyaluran kredit, kecepatan perubahan ekspetasi/perkiraan para actor keuangan, tingkat gangguan terhadap kepercayaan masyarakat stelah terjadinya musibah financial (sperti kegagalan spekulasi yang mengakibatkan kerugian besar), regulasi indrustri perbankan yang berlaku, tingkat kepercayaan keuangan, serta, ini sangat penting, peranan bank sentral sebagai penyedia pinjaman terakhir.
Factor dugaan ekspektasi, atau perkiraan selalu memainkan peran penting. Pandangan-pandangan konvensional (misalnya kindleberger 1989 ; Minsky,1986)secara ekspisit mengakui pentingnya peran perkiraan irrasional dan aspek-aspek psikologis pada fase-fase kritis menjelang terjadinya krisis financial. Kebanyakan orang mudah dipengaruhi oleh rasa takut, desas desus dan juga rasa panic apalagi dalam situasi-situasi krisis hingga mereka cenderung berperilaku menyimpang dari perkiraan rasional para ekonom.
Aspek-aspek ekonomi, kesenjangan informasi telah dikembangkan menjadi model-model yang mencoba menjelaskan krisis perbankan dan keuangan berdasarkan asumsi adanya ekspetasi atau perkiraan rasional para pelakunya. Sebagai contoh Diamond dan Dybvig (1987) mencoba menjelaskan karakteristik situasi operasi bank di mana perkiraan public terhadap kredibilitas bank tersebut sangat menentukan nasib bank itu sendiri. Koordinasi dan respon yang keliru atas perkiraan para pelaku ekonomi bisa mengakibatkan masyarakat terjebak dalam pemilihan kondisi ekuilibrium yang salah.
Serius atau tidaknya krisis financial ditentukan oleh sejauh mana hal tersebut ditangani oleh otorita moneter. Banyak ekonom yang menganut doktrin yang mengatakan bahwa bank sentrallah yang bertanggung jawab sebagai penyelamat dalam situasi krisis financial dengan memainkan peran sebagai penyedia pinjaman terakhir, suatu konsep yang dirasionalisasikan oleh Walter Bagehot dalam karyannya yang berjudul LOmbars Street (1873).
Pelaksaan peran sebagai penyedia pinjaman terakhir tidaklah mudah karena di situ terkandung masalah insentif. Semakin banyak informasi yang diperoleh pasar keuangan, penanganan dalam situasi darurat memang akan semakin mudah dilakukan, namun dalam waktu bersamaan akan kian besar melakukan tindakan-tindakan atau peluang terjadinya krisis serupa. Inilah prinsip “beban moral” dalam asuransi “beban moral” dalam asuransi: semakin banyak asuransi jiwa yang dimiliki oleh seseorang maka ia akan semakin ceroboh dalam menjaga keselamatannya. Atas dasar perhitungan itulah bank sentral jarang mau memberikan jaminan bahwa ia akan bertindak sebagai penyedia pinjaman terakhir atau memainkan fungsi sebagai penyelamat ketika krisis financial terjadi.
2.5 Fungsi dan Peran Bank Sentral pada Masa Krisis
Dalam melakukan kajian terhadap BLBI ada satu poin yang harus diklarifikasi secara jelas yaiitu peran Bank Sentral. BI sebagai Bank Sentral mempunyai kewajiban untuk membantu bank-bank yang sedang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek, karena perannya yang lazim disebut sebagai lender of the last resort dan fungsi ini melekat pada hampir seluruh Bank Sentral dunia. Fungsi Lender of the last resort ini tertuang baik pada UU No. 13 Tahun 1968 maupun pada UU No. 23 Tahun 1999, BI dalam fungsinya sebagai LOLR dapat memberikan kredit kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek. Namun sesuai dengan UU yang berlaku, pinjaman tersebut harus diikat dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit yang diterima.
Dalam peraturan BI No 2/2000 disebutkan bahwa pinjaman itu semata-mata hanya dapat digunakan untuk mengatasi pendanaan jangka pendek. Yang dimaksudt dengan kesulitan jangka pendek adalah keadaan yang dialami oleh bank yang disebabkan karena terjadinya mismatch yaitu arus dana masuk lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar , yang pada akhirnya dapat mengakibatkan saldo giro negative pada BI. Dalam kondisi tersebut BI sesuai dengan fungsinya dapat memberikan bantuan likuiditas kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas dalam jangka pendek sebagaimana ditetapkan dalam UU No.23/1999 pasal 11.
Kondisi perbankan nasional yang hampir collapse tersebut ditandai oleh beberapa fenomena :
a. Tingginya exsposure pinjaman dalam valuta asing yang ternyata tidak seluruhnya di-hedge membuat perbankan rentan terhadap gejolak nilai tukar apalagi kewajiban luar negeri tersebut sebagian besar berjangka pendek.
b. Merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan yang ditandai dengan begitu responsifnya masyarakat dalam menarik dana dari bank apabila timbil isu negative tentang kinerja suatu bank.
c. Merosotnya kepercayaan Lembaga Keuangan Internasional terhadap industry Perbankan Indonesia.
2.6 Posisi BLBI Dalam Upaya Pemerintah mengatasi Krisis Keuangan
1. Rencana pemerintah untuk mengatasi krisis keuangan sistematik
Lepas dari masalah setuju dan tidak setuju terhadap kebijakan yang ada, pemerintah telah berupaya mengatasi krisis ekonomi dan keuangan secara nasional melalui restrukturisasi perbankan nasional. Tingkat keberhasilan kebijakan dan pelaksanaan upaya tersebut, tidak sepenuhnya tergantung kepada upaya dibidang keuangan dan ekonomi, tetapi lebih jauh dan lebih luas lagi adalah adanya pengaruh yang sangat kuat dari kebijakan dan pelaksanaan pengatasan krisis dibidang lainnya, termasuk kebijakan dan praktik politik, penegakan hokum, keamanan nasional, otonomi daerah, pengaruh lembaga-lembaga internasional dan globalisasi. Dengan lain perkataan, pengatasan krisis dibidang keuangan dan ekonomi tidak bisa berdiri sendiri.
Secara obyektif, pemerintah yang berkuasa saat itu, sejak awal dan pada saat krisis berkecamuk secara sistemik maka pemerintah melalui Menteri Keuangan pada pertengahan tahun 1998, telah menyatakan bahwa biaya restrukturisasi perbankan akan memakan biaya sekitar Rp. 650 triliun, yang berupa surat obligasi utang pemerintah, yang terdiri dari 3 komponen :
· BLBI sebesar Rp. 164 triliun
· Program penjaminan sebesar Rp 53 triliun
· Rekapitulasi perbankan sebesar Rp 350 triliun sampai Rp 400 triliun
Dari rencana yang dibuat itu, pemerintah secara implicit mengakui bahwa tanggung jawab untuk mengatasi krisis itu menjadi tanggung jawab Pemerintah.
2. Posisi BLBI, program penjaminan dan Rekapitalisasi Perbankan
posisi kumulatif BLBI, program penjaminan dan Rekapitulasi Perbankan Nasional sampai dengan akhir November 2002 jumlah seluruhnya tercatat sebesar Rp 652,406 triliun, yang terdiri dari :
BLBI Rp 144,50 triliun 22,49 %
Dana Pinjaman Rp 73,80 triliun 11,49%
Obligasi Rekap Rp 424,12 triliun 66,02%
Jumlah Rp 642,42 triliun 100,00%
Untuk obligasi rekap perbankan, diperkirakan 1/3(sepertiga) dipakai untuk bank swasta dan selebihnya untuk bank pemerintah. Dari dana rekap diatas dapat dilihat bahwa dana BLBI yang ditukar dengan obligasi/surat utang pemerintah hanya merupakan 22,49% dari keseluruhan dana yang diperlukan untuk mengatasi dan memperbaiki krisis perbankan yang sistemik.
3. Dasar perhitungan besaran BLBI sebagai biaya krisis
Untuk menghitung biaya krisis atas BLBI yang dikeluarkan sampai dengan 29 Januari 1999 sebesar Rp 144,536 triliun, dapat dipergunakan 2 pendekatan yaitu :
a. Pendekatan Bruto (gross approach) dan
b. Pendekatan bersih/neto (net approach).
a. Pendekatan Bruto
Pendekatan bruto adalah cara perhitungan tagihan kepada bank penerima BLBI yang didalamnya terdiri atas: pokok, bunga, dan denda. Didalam jumlah akumulasi BLBI, yang dipakai sebagai dasar penerbitan surat utang pemerintah dalam pengalihan tagihan dari BI ke Pemerintah didalamnya termasuk “bunga dan denda” yang belum dibayar.
Didalam jumlah surat utang pemerintah sebesar Rp 144,536 triliun tersebut didalamnya termasuk denda dan bunga. Menurut data dari satgas BLBI BI, rinciannya (dengan pembulatan) adalah sebagai berikut :
Pokok Rp132,882 triliun
Denda Rp11,654 triliun
Jumlah Rp144,536 triliun
Menurut data hasil pemeriksaan oleh BPK, rinciannya (dengan pembulatan) adalah sebagai berikut :
Jumlah Bruto Rp 144,536 triliun
Jumlah Bruto Rp 144,536 triliun
Denda dan Bunga Rp 11,654 triliun
Pokok Rp 109,936 triliiun
BI mempergunakan pendekatan bruto, karena sesuai dengan perjanjian BLBI dengan bank penerima, penagihan yang merupakan hak BI terdiri dari pokok, bunga dan denda.
b. Pendekatan bersih/neto
Pendekatan neto adalah cara perhitungan besarnya BLBI atas dasar pokok atau principal yang disalurkan.
Oleh karena itu, atas dasar pendekatan neto ini yang dialihkan dari BI ke pemerintah adalah “jumlah pokok” BLBI, dengan catatan bunga dan denda yang diperhitungkan harus disertakan.
Pendekatan neto bisa dipakai dalam situasi atau kondisi obyektif bahwa operasi perbankan menghadapi situasi krisis yang tidak mungkin untuk dapat mengembalikan BLBI yang diterima seperti pada kondisi normal. Pendekatan neto ini didasari oleh pemikiran bahwa “hypothetical cost” dalam transaksi antara pemilik dan badan usaha yang juga dikendalikan oleh pemilik, tidak boleh diperhitungkan. Atas dasar pemikiran pendekatan ini, hubungan antara pemerintah dengan BI adalah hubungan khusus pemilik dan badan usaha atau “hubungan istimewa”.
Oleh karena itu denda dan bunga bisa dikeluarkan dalam perhitungan hak dan kewajiban antara pemerintah dan BI.
2.7 Krisis Sosial dan Politik
Krisis moneter dan perbankan telah memberikan pengaruh negative yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, sehingga dampak social dan politiknya juga luar biasa. Hal itu disebabkan oleh struktur dan kelembagaan social serta politik di Indonesia juga mengidap kelemahan, sehingga proses penularan krisis terus berlangung dan melanda sendi-sendi kehidupan social dan politik , sehingga Indonesia akhirnya mengalami krisis multidimensi. Banyak perusahaan yang terpaksa gulung tikar dan pada akhirnya muncul pengangguran baru di Indonesia akibat pemutusan hubungan kerja dalam jumlah yang besar. Di sisi lain harga-harga barang-barang kebutuhan pokok melambung tinggi dan ini semakin membenani rakyat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Keadaan tersebut pada akhirnya meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia dan menimbulkan masalah-masalah social baru yang merugikan kehidupan social di Indonesia.
Krisis yang semakin dahsyat pada akhirnya memaksa mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan untuk menuntut perubahan di negeri ini. Demonstrasi mahasiswa yang awalnya dilakukan dengan damai ternyata malah dilawan dengan tindakan yang represif dari aparat keamanan. Puncak dari ketegangan politik pada saat itu ialah terbunuhnya empat mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Kematian mahasiswa tersebut menimbulkan gelombang kerusuhan missal pada dua hari berikutnya di berbagai kota di Indonesia. Kerusuhan yang terjadi semakin menenggelamkan Indonesia dalam kehancuran dan ketidakpercayaan masyarakat internasional terhadap keamanan di Indonesia. Hal ini tentu saja menyulitkan Pemerintah untuk melakukan perbaikan terhadap krisis yang terjadi. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga semakin menurun, dan satu-per satu unsur yang mendukung pemerintahan mulai menarik dukungannya, sehingga pemerintahan mulai goyah dan tidak dapat dipertahankan lagi. Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun mengundurkan diri, dan dengan demikian Orde Baru berakhir dan mulailah Era Reformasi di Indonesia.
2.8 Kebijakan Mengatasi Krisis dan Keterkaitan Kebijakan Moneter dengan Kebijakan Makro Lainnya
Kebijakan untuk mengatasi krisis
Setelah lebih rinci pemerintah Thailand telah membuat suatu formula untuk mengatasi krisis
Ekonomi dengan pendekatan sistematis antara lain yaitu memisahkan lembaga keuangan yang rapuh dan mengatasi masalah Financial Institution Development Fund (FIDF) memperkuat pengawasan, merekapitulasi lembaga-lembaga keuangan yang masih bisa bertahan dan mengatasi kredit bermasalah kredit bermasalah (NPL).
Mengenai lembaga keuangan yang tidak solven, pemerintah telah menutup lembaga keuangan tersebut dan melakukan proses likuidasi terhadap asset-asetnya serta membelikan perlindungan terhadap deposan dan kreditur lembaga keuangan tersebut. The Financial Restructuring Authority (FRA) didirikan oleh pemerintah untuk mengemban tugas likuidasi terhadap lembaga-lembaga keuangan yang bangkrut dan melakukan pemberesan terhadap asset-asetnya. Sedangkan bank-bank yang masih viable (bertahan), Bank of Thailand melakukan rekapitulasi dengan menggunakan dana pemerintah. Pemerintah juga melihat perlunya pengawasan atas penyelesaian krisis ekonomi dan mengantisipasi krisis yang akan terjadi di kemudian hari. Melihat kebutuhan ini, pemerintah telah mengeluarkan persyaratan baru mengenai penyediaan dan klasifikasi pinjaman, merestrukturisasi Bank of Thailand dan mengeluarkan peraturan baru yaitu the new Financial Institutiion Act dan The New Bank of Thailand Act. Salah satu alasan utama dari pengeluaran peraturan baru ini adalah untuk landasan hokum dalam merekapitulasi lembaga keuangan dan meningkatkan transparasi. Lebih jauh lagi, beberapa upaya telah digelar oleh pemerintah dalam program restrukturisasi lembaga keuangan yaitu antara lain diberikannya kesempatan untuk lembaga keuangan yang bertahan untuk merekaptulasi dengan menggunakan dana masyarakat secara aman (safeguard), memberikan insentif untuk perusahaan yang mempercepat restrukturisasi utangnya dan mengeluarkan dasar hokum pendirian perusahaan asset manajemen serta melakukan penyelesaian lembaga keuangan yang diambil alih sesuai dengan sasaran jangka panjang system keuangan.
Kebijakan pemerintah dalam rangka mengatasi krisis perbankan pada tahun 1997,1998,1999
Dibawah ini adalah rangkuman tindakan pemerintah dalam rangka mengatasi krisis keuangan yang terjadi pada pertengahan tahun1997 sampai tahun 1999
Kebijakan pemerintah dalam rangka mengatasi krisis perbankan pada tahun 1997
1. Juli/Agustus: Bank Indonesia melakukan intervensi nilai tukar Rp. Terhadap USD; Presiden Soeharto menegaskan bahwa tidak aka nada penutupan Bank.
2. Pemerintah Indonesia minta bantuan dari IMF dan lembag-lembaga Internasional lainnya.
3. September-Oktober : Presiden mengintruksikan agar pemerintah membantu likuiditas bank-bank Insolven.
4. November-Desember: pemerintah mengumumkan penutupan 16 bank yang dianggap tidak sehat pada awal November 1997, dan menjamin pengembalian dana para deposan yang memiliki simpanan di bawah Rp 20 Jt. Pada periode ini presiden mengintruksikan agar kredit untuk rumah sangat kecil (RSS) dan perusahaan kecil tetap diprioritaskan, menutup beberapa bank lagi (tahap II), dan memberikan persetujuan untuk mengkonversikan BLBI menjadi Surat Berharga Pasar Utang Khusus (SBPUK)
Kebijakan pemerintah dalam rangka mengatasi krisis perbankan pada tahun 1998
1. Januari-April: pada tanggal 15 Januari 1998 Presiden Soeharto menandatangani LOI I ysng berisi 50 butir program perbaikan ekonomi, termasuk emandemen Undang-Undang perbankan dan revisi RAPBN tahun 1999. Pemerintah juga mengumumkan kesediaannya untuk menjamin penuh semua deposan dan kreditur perbankan (kecuali pemilik), mengembalikan semua dana para deposan 16 bank yang ditutup pada bulan November 1997 dan membentuk BPPN yang akan mengambil alih semua BLBI.
2. April-Juni: penandatangan LOI II yang berisi program-program lanjutan perbaikan ekonomi mengingat kondisi perekonomian yang semakin parah setelah pemerintah mengumumkan penutupan bank tahap II antara bulan Juli-Desember. Pada periode yang sama dikeluarkan Keputusan Presiden mengenai penjaminan Bank Perkreditan Rakyat.
3. Beberapa kejadian non ekonomi yang ikut mempengaruhi krisis antara lain adalah: Sidang Umum MPR (Maret), gejolak social dan kerusuhan massa (Mei), rumor mengenai kesehatan Presiden Soeharto dan berakhirnya kepemimpinan Presiden Soeharto yang dilanjutkan oleh Presiden Habibie (23Mei). Pemerintah juga melakukan penandatangan Frankfurt Agreement untuk penjaminan trade finance dan interbank-debt (4Juni)
Kebijakan pemerintah dalam rangka mengatasi krisis perbankan pada tahun 1999
Januari-Juni. Pemerintah menerbitkan Surat Utang untuk mengganti BLBI yang merupakan dana talangan dari Bank Indonesia sebesar Rp 144,5 triliun yang terbagi dalam beberapa surat utang. Pada periode yang sama, pemerintah memberikan jaminan untuk interbank debt dan trade finance sesuai dengan kesepakatan Frankfurt.
Keterkaitan kebijakan moneter dengan kebijakan makro lain
Kebijakan moneter merupakan salah satu bagian integral dan kebijakan ekonomi makro. Oleh karena itu, kebijakan moneter secara sengaja diarahkan untuk mencapai sasaran-sasaran kebijakan ekonomi makro. Sehubungan dengan itu, untuk mencapai sasaran-sasaran kebijakan ekonomi makro secara optimal, diperlukan adanya koordinasi atau kebijakan campuran (policy mix) antara kebijakan moneter dan kebijakan ekonomi makro lainnya antara lain fiscal, neraca pembayaran, dan sector riil.
Kebijakan sector moneter terkait dengan kebijakan dan perkembangan yang terjadi di sector riil, fiscal, dan sector eksternal. Sebagai contoh, dalam kondisi perekonomian dalam negri yang lesu diperlukan kebijakan moneter dan fiscal yang ekspansif untuk mendorong kegiatan perekonomian dalam negri sehingga tercapai pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Agar kebijakan moneter dan fiscal yang ekspansif tersebut tidak menimbulkan tekanan terhadap inflasi, diperlukan adanya kebijakan di sector riil yang dapat mendorong produksi sehingga dapat mendorong produksi sehingga dapat memenuhi kebutuhan dalam negri dan ekspor.
Sebaliknya, dalam suatu perekonomian yang mengalami tekanan inflasi, diperlukan kebijakan moneter dan fiscal yang kontraktif tersebut dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan adanya kebijakan di sektor riil yang dapat menunjang perkembangan produksi dan ekspor.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Krisis yang terjadi di Indonesia perlahan-lahan mulai dapat diatasi. Nilai tukar Rupiah mengalami perkembangan yang stabil sampai dengan saat ini. Selain itu struktur perbankan telah diperkuat berkat diberikannya kemandirian kepada Bank Indonesia dalam menentukan berbagai kebijakan di bidang perbankan. Saat ini perbankan telah mampu bangkit kembali dan telah menjadi lembaga intermediasi keuangan yang efektif dan terpercaya. Keadaan perbankan saat ini terus diperbaiki, sehingga terjadinya krisis perbankan yang nyaris menghancurkan system perbankan Indonesia pada tahun 1997 tidak terulang kembali.
Akan tetapi meskipun krisis nilai tukar dan perbankan telah teratasi, krisis yang lebih luas yaitu krisis social di masyarakat belum sepenuhnya dapat teratasi. Masalah lapangan pekerjaan, sulitnya pemenuhan kebutuhan hidup, hingga munculnya bibit-bibit disintegrasi bangsa di daerah terus saja datang silih berganti. Ketidak berpihakan Pemerintah kepada masyakarat golongan menengah ke bawah dan praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang dilakukan oleh sebagian oknum pejabat di negeri ini mengakibatkan rakyat kecil semakin hidup dalam ketertinggalan. Entah sampai kapan keadaan sebagian besar masyarakat Indonesia terus hidup dalam kemiskinan, dan entah sampai kapan pula bangsa ini dapat hidup dalam suasana yang “gemah ripah loh jinawi” seperti cerita yang pernah disampaikan oleh nenek moyang kita di masa lalu.
3.2 Saran
Sebagai warga negara Indonesia yang demokratis, kita seharusnya lebih antusias terhadap krisis yang terjadi pada bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Pohan Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
M Asrun Andi. BLBI perspektif hokum, politik ekonomi. Jakarta Pusat : Judicial Watch Indonesia
Law Office Soehandjono dkk. BI dan BLBI Suatu Tinjauan dan Penilaian Aspek Ekonomi, Keuangan dan Hukum. Jakarta : PT Grant Thornton Indonesia
. . Study Ekonomi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Jakarta : PT Grant Thornton Indonesia
Kuper, Adam dan Jessica Kuper. 2008. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial Edisi Kedua Accelator – Lyotard. Jakarta : PT Raja Grafindo.
lam kenal sobat.......
mampir d my blog http://amrankaremus.blogspot.com
iyaa,,slam kenal sobat..
sudah Saya follow
follback yya
maturnuwun :D
iya sda sob aq follow blik....!!!
sebh laaa
@dimdroid: sama2 :) semoga bermanfaat,,,salam knal juga dr saya :D